Kesadaran kolektif yang menggerakkan roda organisasi berporos pada akar
falsafah eksistensinya. Untuk itu, falsafah gerak merupakan representasi
kesadaran historis yang mengisi semangat zaman pada konteksnya. Secara
verbal, abstraksi falasafah gerak tersebut dapat ditemukan pada setiap
rumudan identitas, hakekat maupun tujuan kehadiran sebuah organisasi.
Yang disadari sejak awal adalah bahwa rumusan-rumusan itu merupakan
rancang bangun dari imajinasi kolektif. Inilah “seruan primordialitas”
setiap gerakan yang dalam term new social movement dikenal demgan
theology of hope. Dalam kaitan ini, wacana moralitas, kebebasan, dan
tanggungjawab intelektual merupakan diskursus fundamental dalam
gerakan-gerakan sosial, termasuk di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Kalau
kita telusuri berbagai dokumen, piagam pernyataan maupun deklalasi IMM
adalah gerakan kemahasiswaan Islam yang menempatkan diri pada garda
gerakan moral-intelektual berbasis kerakyatan (popular intellectual).
Gagasan moralitas dalam gerakan social tidak bisa dilepaskan dari
cita-cita kebebasab itu sendiri. Pengungkit gerakan yang akan menyingkap
tabir-tabir anomaly social terletak pada moralitas kebebasan. Falasafah
moralitas dalam ikatan seharusnya melampaui wilayah normativitas menuju
kancah social empiric yang menjadi medan kebutuhan dasar manusia bukan
pola gerakan yang mengartikulasikan diri pada wilayah moralitas teks.
Sudah saatnya falsafah dan pola gerakan IMM mengarahkan diri pada
komitmen kemanusiaan melalui artikulasi intelektual yang berbasis
kerakyatan. Pada hakekatnya, falsafah gerakan memanifestasikan hasrat
imajinasi pada kurun tertentu, saat ini IMM harus melakukan penegasan
identitas sekaligus radikalisasi imajinasi yang berorientasi pada
pembebasan, pencerahan dan memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan dasar
anomali-anomali social untuk konteks kekinian. Beranjak dari amanah
Muktamar Muhammadiyah ke 45 di Malang yang telah merekomemdasikan secara
intensif, terarah dan terancang (BRM 1/2005, 184). Langkan ini perlu
dioptimalkan untuk mendorong proses regenerasi dan peningkatan kualitas
kader dari tingkatan yang paling bawah (Komisariat) hingga tingkatan
Dewan Pimpinan Daerah. Dalam konteks ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM ) diharapkan mampu memfungsikan dirinya sebagai basis kaderisasi
kepemimpinan gerakan intelektual. Penguatan Ikatan sebagai Gerakan
Sosial Islam Kader IMM saat ini, banyak dihinggapi oleh perasaan
inferior. Perasaan merasa kecil, tidak percaya diri dan tidak memiliki
sumbangsih peran. Hal ini karena kader IMM belum benar-benar menyadari
mengenai potensi dan kekuatan IMM sebagai ortom Muhammadiyah. Serta
tidak terlepas dari minimnya pengetahuan kader mengenai kondisi serupa
yang dialami oleh umumnya gerakan mahasiswa. Pepatah “rumput tetangga
terlihat lebih hijau daripada rumput sendiri”, menjadi benar adanya
dalam kasus ini. Tentu saja kader IMM lebih memahami rumah tangga
sendiri dibandingkan dengan rumah tangga orang lain. Perasaan tersebut
diperkuat dengan pandangan, baik sadar ataupun tidak, bahwa IMM saat ini
‘sendirian’. Terlepas realita bahwasanya belum terdapat sinergi antara
perkaderan IMM, Ortom dan Muhammadiyah. Bercermin untuk melihat kondisi
IMM saat ini adalah penting. Namun, cermin merupakan pantulan realita
yang bisu dan tanpa persepsi. Cermin hanya memantulkan subjektifitas
subjek akan dirinya. Untuk itu, IMM harus berani jujur pada diri
sendiri, jujur pada kondisi perkaderan dan institusi, dan jujur pada
keilmuan yang dimiliki. Serta yang terpenting, IMM harus berani jujur
pada tujuan dan harapan keberadaan Ikatan. Menjadi bagian dari mata
rantai perjuangan dakwah sosial Muhammadiyah. Sehingga, kesinambungan
dan sinergi perkaderan dan institusi IMM menjadi satu ranah perjuangan
melalui visi kebangsaan yang utuh. IMM memiliki tiga kompetensi dasar
yaitu Intelektualitas, Spiritualitas dan Humanitas. Tiga kompetensi
dasar tersebut merupakan gambaran ‘kader utuh’ IMM. Proses dan jenjang
perkaderan dalam tubuh Ikatan tidak terlepas dari tujuan pembentukan
karakter tersebut. Meskipun, melihat ‘seluk beluk’ jenjang formal
perkaderan saat ini (DAD, DAM dan DAP), menjadi miris untuk berani
mengatakan bahwa harapan terbentuknya ‘kader utuh’ IMM dapat terwujud
dengan mudah. Intelektualitas kader tidak tertanam secara massif. Cukup
banyak kader yang membanggakan dirinya telah mengikuti perkaderan formal
tanpa keinginan untuk melakukan individuasi pasca perkaderan. Merasa
cukup dengan pengetahuan umum tanpa memiliki kerangka analisis sosial.
Tidak cukup berani memaknai betapa pentingnya metode falsafati sebagai
metode berpikir. Dalam hal massifikasi gerakan-pun masih terlihat lemah.
Diskursus wacana yang dibangun tidak bersinergi dengan ranah aplikasi
di tingkat pergerakan sosial. Intelektualitas yang dimiliki hanya
menjadi bagian dari kesadaran naif, dan belum sampai pada tataran
kesadaran kritis. Kontekstualisasi akan spriritualitas diterjemahkan
kelewat ‘bebas’ oleh kader Ikatan yang mengaku kritis dan radikal. Atau
diterjemahkan bak ‘tempurung’ oleh mereka yang mencoba lari dalam suatu
pembenaran akan Islam. Maka wajar bila masjid lebih banyak hidup dan
dihidup-hidupi oleh karakteristik pemikiran yang semakin menjauhkan
masyarakat muslim dari realitas sosialnya. Semangat tiga kompetensi
dasar IMM seharusnya menjadi satu kesatuan karakter yang dibangun.
Masjid tidak sekedar menjadi tempat pengajian tapi juga kajian sosial,
tidak sekedar praktik ibadah tapi juga merumuskan ranah gerakan.
Keeratan emosional tidak disatukan oleh kepentingan, melainkan kesadaran
akan visi kebangsaan. Yang dimulai dan didasarkan pada spiritualitas
dan dikembangkan melalui intelektual, untuk mewujudkan sebuah negeri
yang aman, tenteram, berkeadilan dan sejahtera. Kader yang radikal dan
progresif adalah kader yang tidak hanya matang dari sisi intelektual dan
gerakan sosial namun juga matang dalam hal spiritual. Kader IMM mampu
untuk berdikusi hingga larut malam dan menetapkan strategi gerakan,
namun tetap istiqamah dalam melakukan shalat malam. Tidak pernah
terlihat buku lepas dari tangannya sebagaimana seorang kader tidak
meninggalkan ibadah wajib dan shalat tepat pada waktunya. Memahami
sejarah peradaban Islam dengan pelbagai fakta sejarah didalamnya
sebagaimana kemampuan analisis yang didasarkan pada filsafat sosial.
Reformasi Perkaderan: Mewujudkan Kader-Aktivis Kader-Aktivis merupakan
terminologi anggota IMM yang ideal. Sebagai kader ia bukan sekedar
anggota, melainkan memahami visi dan tujuan Ikatan, dengan penuh
kesadaran memilih IMM sebagai wadah perjuangan gerakan. Sebagai kader,
ia mestilah memiliki penguasaan dan wawasan atas Islam selaku agama dan
Muhammadiyah sebagai gerakan, serta berkapasitas intelektual dalam arti
yang luas. Sebagai aktivis, ia memiliki penguasaan sebagai intelektual
gerakan dengan anti-kapitalisme dan anti-neoimperialisme sebagai
paradigma. Ia pula, memiliki seperangkat kompetensi sebagai aktivis
gerakan dengan kemampuan praksis lapangan. Tidak semua anggota IMM
adalah kader. Tidak semua kader adalah aktivis, sebagaimana tidak semua
aktivis di dalam IMM bervisi kader. Masa depan IMM berada di tangan
kader-aktivis. Karakter kader-aktivis dapat terbentuk dengan perumusan
tafsiran baru atas spiritualitas, intelektualitas dan humanitas.
Kebutuhan identitas-karakter atas tiga pondasi tersebut mensyaratkan
adanya kepaduan ideologis dan simbolis. Spiritualitas, mengacu pada
pemikiran Fazlur Rahman mengenai pentingnya Islam dipahami secara utuh,
bukan parsial, untuk kemudian menjadi basis ontologis dalam bertindak.
Hal ini merupakan bentuk perlawanan atas logika positivis yang
menghantarkan abad 20 pada kondisi unsecurity ontological. Dari Sayyid
Qutb kita belajar bahwa, “pemahaman atas agama ini tak boleh diambil
dari orang-orang yang tak berjuang, yang hanya berinteraksi dengan
kertas-kertas dingin!”. Qutb meyakini keberhasilan perjuangan bukan
keberanian semata, tapi keyakinan dan prinsip untuk tidak berdiam diri.
Kajian-kajian di masjid diselenggarkan, mimbar-mimbar di buka, berbicara
mengenai –gagasan Qutb- prinsip-prinsip fundamental Islam yang bersifat
revolusioner. Ia adalah revolusi melawan kekuasaan penindas dan
ketidakadilan. Intelektualitas. Seorang intelektual menurut Gramsci,
adalah pribadi yang berpihak. Gramsci mengecam para intelektual yang
berpikir bahwa dirinya independen dan otonom. Merasa dirinya mampu
memetakan masalah yang di hadapi kelas sosial dan merumuskan solusinya
di secarik kertas, tanpa pernah hidup bersama mereka. HIngga pada
akhirnya, kebijakan mereka justru merugikan rakyat banyak. Inilah
pengkhianatan yang sesungguhnya dari kaum intelektual. Itulah mengapa
Ali Syariati percaya bahwa peran pendidikan dapat mendorong revolusi
sosial. Bagi mahasiswanya, Syariati merupakan dosen ideal dengan pidato
yang memikat dan berkobar. Tradisi kuliahnya yang provokatif dan
berpihak pada kaum tertindas ternyata menolak absensi administratif yang
menurutnya birokratis dan membodohkan. Bagi Syariati, kembali pada
Islam saja tidak cukup. Islam Abu Dzar atau Marwan? Syariati
menyampaikan bahwa Islam yang benar lebih dari sekedar kepedulian. Islam
yang benar memerintahkan kaum beriman untuk berjuang untuk keadilan,
kemanusiaan dan penghapusan kemiskinan. Humanitas. Ahmad Dahlan adalah
sosok pendiri Muhammadiyah yang pernah di cap ‘ulama Kristen’,
mengimplementasikan pemahaman Qur’an dengan mendirikan sekolah,
membangun panti asuhan dan menghadirkan sarana pengobatan.
Keberpihakannya begitu nampak, yang justru berbeda dengan belenggu yang
menghimpit Muhammadiyah saat ini. Ada yang percaya hal ini dikarenakan
pada masa itu anggota Muhammadiyah adalah entrepreneur yang tak segan
mensedekahkan hartanya untuk organisasi. Tak segan Ahmad Dahlan
berhadapan langsung dengan tradisi feodal Kraton dan pemahaman Islam
konservatif. Bila strategi Ahmad Dahlan cukup moderat, Che merupakan
sosok revolusioner yang mendunia. Wajahnya banyak terpampang di berbagai
kaos dan buku, yang kini justru menjadi komoditas industri. Mereka yang
mengoleksinya tak lagi ingat bagaimana pilihannya untuk terlibat
bersama massa tertindas, miskin dan terlupakan, harus di bayar dengan
mahal. Ia menyadari bahwa empati saja tidak cukup untuk menyelesaikan
persoalan. Sistem itu harus di tumbangkan. Che bukan sosok yang berkata
‘pergi dan bertempurlah’, tetapi justru berkata ‘ikutilah aku dan
berperang’. Menjadi kader pioneer dalam dinamika intelektualisme di
Muhammadiyah merupakan nilai inti dari eksistensi IMM. Sesungguhnya
kekuatan inti IMM sebagai kader Muhammadiyah terletak pada kesadaran dan
kemampuan intelektual kader-kadernya yang secara kolektif
memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan sebagaimana tersurat
dan tersirat dalam Surat Al-Ma’un (Intelegensia Al Ma’un). Terjadinya
tranformasi kader di berbagai bidang kehidupan.
(Rahmat)
(Rahmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar