Rabu, 20 Maret 2013

FILOSOFI GERAKAN IMM






Kesadaran kolektif yang menggerakkan roda organisasi berporos pada akar falsafah eksistensinya. Untuk itu, falsafah gerak merupakan representasi kesadaran historis yang mengisi semangat zaman pada konteksnya. Secara verbal, abstraksi falasafah gerak tersebut dapat ditemukan pada setiap rumudan identitas, hakekat maupun tujuan kehadiran sebuah organisasi. Yang disadari sejak awal adalah bahwa rumusan-rumusan itu merupakan rancang bangun dari imajinasi kolektif. Inilah “seruan primordialitas” setiap gerakan yang dalam term new social movement dikenal demgan theology of hope. Dalam kaitan ini, wacana moralitas, kebebasan, dan tanggungjawab intelektual merupakan diskursus fundamental dalam gerakan-gerakan sosial, termasuk di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Kalau kita telusuri berbagai dokumen, piagam pernyataan maupun deklalasi IMM adalah gerakan kemahasiswaan Islam yang menempatkan diri pada garda gerakan moral-intelektual berbasis kerakyatan (popular intellectual). Gagasan moralitas dalam gerakan social tidak bisa dilepaskan dari cita-cita kebebasab itu sendiri. Pengungkit gerakan yang akan menyingkap tabir-tabir anomaly social terletak pada moralitas kebebasan. Falasafah moralitas dalam ikatan seharusnya melampaui wilayah normativitas menuju kancah social empiric yang menjadi medan kebutuhan dasar manusia bukan pola gerakan yang mengartikulasikan diri pada wilayah moralitas teks. Sudah saatnya falsafah dan pola gerakan IMM mengarahkan diri pada komitmen kemanusiaan melalui artikulasi intelektual yang berbasis kerakyatan. Pada hakekatnya, falsafah gerakan memanifestasikan hasrat imajinasi pada kurun tertentu, saat ini IMM harus melakukan penegasan identitas sekaligus radikalisasi imajinasi yang berorientasi pada pembebasan, pencerahan dan memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan dasar anomali-anomali social untuk konteks kekinian. Beranjak dari amanah Muktamar Muhammadiyah ke 45 di Malang yang telah merekomemdasikan secara intensif, terarah dan terancang (BRM 1/2005, 184). Langkan ini perlu dioptimalkan untuk mendorong proses regenerasi dan peningkatan kualitas kader dari tingkatan yang paling bawah (Komisariat) hingga tingkatan Dewan Pimpinan Daerah. Dalam konteks ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM ) diharapkan mampu memfungsikan dirinya sebagai basis kaderisasi kepemimpinan gerakan intelektual. Penguatan Ikatan sebagai Gerakan Sosial Islam Kader IMM saat ini, banyak dihinggapi oleh perasaan inferior. Perasaan merasa kecil, tidak percaya diri dan tidak memiliki sumbangsih peran. Hal ini karena kader IMM belum benar-benar menyadari mengenai potensi dan kekuatan IMM sebagai ortom Muhammadiyah. Serta tidak terlepas dari minimnya pengetahuan kader mengenai kondisi serupa yang dialami oleh umumnya gerakan mahasiswa. Pepatah “rumput tetangga terlihat lebih hijau daripada rumput sendiri”, menjadi benar adanya dalam kasus ini. Tentu saja kader IMM lebih memahami rumah tangga sendiri dibandingkan dengan rumah tangga orang lain. Perasaan tersebut diperkuat dengan pandangan, baik sadar ataupun tidak, bahwa IMM saat ini ‘sendirian’. Terlepas realita bahwasanya belum terdapat sinergi antara perkaderan IMM, Ortom dan Muhammadiyah. Bercermin untuk melihat kondisi IMM saat ini adalah penting. Namun, cermin merupakan pantulan realita yang bisu dan tanpa persepsi. Cermin hanya memantulkan subjektifitas subjek akan dirinya. Untuk itu, IMM harus berani jujur pada diri sendiri, jujur pada kondisi perkaderan dan institusi, dan jujur pada keilmuan yang dimiliki. Serta yang terpenting, IMM harus berani jujur pada tujuan dan harapan keberadaan Ikatan. Menjadi bagian dari mata rantai perjuangan dakwah sosial Muhammadiyah. Sehingga, kesinambungan dan sinergi perkaderan dan institusi IMM menjadi satu ranah perjuangan melalui visi kebangsaan yang utuh. IMM memiliki tiga kompetensi dasar yaitu Intelektualitas, Spiritualitas dan Humanitas. Tiga kompetensi dasar tersebut merupakan gambaran ‘kader utuh’ IMM. Proses dan jenjang perkaderan dalam tubuh Ikatan tidak terlepas dari tujuan pembentukan karakter tersebut. Meskipun, melihat ‘seluk beluk’ jenjang formal perkaderan saat ini (DAD, DAM dan DAP), menjadi miris untuk berani mengatakan bahwa harapan terbentuknya ‘kader utuh’ IMM dapat terwujud dengan mudah. Intelektualitas kader tidak tertanam secara massif. Cukup banyak kader yang membanggakan dirinya telah mengikuti perkaderan formal tanpa keinginan untuk melakukan individuasi pasca perkaderan. Merasa cukup dengan pengetahuan umum tanpa memiliki kerangka analisis sosial. Tidak cukup berani memaknai betapa pentingnya metode falsafati sebagai metode berpikir. Dalam hal massifikasi gerakan-pun masih terlihat lemah. Diskursus wacana yang dibangun tidak bersinergi dengan ranah aplikasi di tingkat pergerakan sosial. Intelektualitas yang dimiliki hanya menjadi bagian dari kesadaran naif, dan belum sampai pada tataran kesadaran kritis. Kontekstualisasi akan spriritualitas diterjemahkan kelewat ‘bebas’ oleh kader Ikatan yang mengaku kritis dan radikal. Atau diterjemahkan bak ‘tempurung’ oleh mereka yang mencoba lari dalam suatu pembenaran akan Islam. Maka wajar bila masjid lebih banyak hidup dan dihidup-hidupi oleh karakteristik pemikiran yang semakin menjauhkan masyarakat muslim dari realitas sosialnya. Semangat tiga kompetensi dasar IMM seharusnya menjadi satu kesatuan karakter yang dibangun. Masjid tidak sekedar menjadi tempat pengajian tapi juga kajian sosial, tidak sekedar praktik ibadah tapi juga merumuskan ranah gerakan. Keeratan emosional tidak disatukan oleh kepentingan, melainkan kesadaran akan visi kebangsaan. Yang dimulai dan didasarkan pada spiritualitas dan dikembangkan melalui intelektual, untuk mewujudkan sebuah negeri yang aman, tenteram, berkeadilan dan sejahtera. Kader yang radikal dan progresif adalah kader yang tidak hanya matang dari sisi intelektual dan gerakan sosial namun juga matang dalam hal spiritual. Kader IMM mampu untuk berdikusi hingga larut malam dan menetapkan strategi gerakan, namun tetap istiqamah dalam melakukan shalat malam. Tidak pernah terlihat buku lepas dari tangannya sebagaimana seorang kader tidak meninggalkan ibadah wajib dan shalat tepat pada waktunya. Memahami sejarah peradaban Islam dengan pelbagai fakta sejarah didalamnya sebagaimana kemampuan analisis yang didasarkan pada filsafat sosial. Reformasi Perkaderan: Mewujudkan Kader-Aktivis Kader-Aktivis merupakan terminologi anggota IMM yang ideal. Sebagai kader ia bukan sekedar anggota, melainkan memahami visi dan tujuan Ikatan, dengan penuh kesadaran memilih IMM sebagai wadah perjuangan gerakan. Sebagai kader, ia mestilah memiliki penguasaan dan wawasan atas Islam selaku agama dan Muhammadiyah sebagai gerakan, serta berkapasitas intelektual dalam arti yang luas. Sebagai aktivis, ia memiliki penguasaan sebagai intelektual gerakan dengan anti-kapitalisme dan anti-neoimperialisme sebagai paradigma. Ia pula, memiliki seperangkat kompetensi sebagai aktivis gerakan dengan kemampuan praksis lapangan. Tidak semua anggota IMM adalah kader. Tidak semua kader adalah aktivis, sebagaimana tidak semua aktivis di dalam IMM bervisi kader. Masa depan IMM berada di tangan kader-aktivis. Karakter kader-aktivis dapat terbentuk dengan perumusan tafsiran baru atas spiritualitas, intelektualitas dan humanitas. Kebutuhan identitas-karakter atas tiga pondasi tersebut mensyaratkan adanya kepaduan ideologis dan simbolis. Spiritualitas, mengacu pada pemikiran Fazlur Rahman mengenai pentingnya Islam dipahami secara utuh, bukan parsial, untuk kemudian menjadi basis ontologis dalam bertindak. Hal ini merupakan bentuk perlawanan atas logika positivis yang menghantarkan abad 20 pada kondisi unsecurity ontological. Dari Sayyid Qutb kita belajar bahwa, “pemahaman atas agama ini tak boleh diambil dari orang-orang yang tak berjuang, yang hanya berinteraksi dengan kertas-kertas dingin!”. Qutb meyakini keberhasilan perjuangan bukan keberanian semata, tapi keyakinan dan prinsip untuk tidak berdiam diri. Kajian-kajian di masjid diselenggarkan, mimbar-mimbar di buka, berbicara mengenai –gagasan Qutb- prinsip-prinsip fundamental Islam yang bersifat revolusioner. Ia adalah revolusi melawan kekuasaan penindas dan ketidakadilan. Intelektualitas. Seorang intelektual menurut Gramsci, adalah pribadi yang berpihak. Gramsci mengecam para intelektual yang berpikir bahwa dirinya independen dan otonom. Merasa dirinya mampu memetakan masalah yang di hadapi kelas sosial dan merumuskan solusinya di secarik kertas, tanpa pernah hidup bersama mereka. HIngga pada akhirnya, kebijakan mereka justru merugikan rakyat banyak. Inilah pengkhianatan yang sesungguhnya dari kaum intelektual. Itulah mengapa Ali Syariati percaya bahwa peran pendidikan dapat mendorong revolusi sosial. Bagi mahasiswanya, Syariati merupakan dosen ideal dengan pidato yang memikat dan berkobar. Tradisi kuliahnya yang provokatif dan berpihak pada kaum tertindas ternyata menolak absensi administratif yang menurutnya birokratis dan membodohkan. Bagi Syariati, kembali pada Islam saja tidak cukup. Islam Abu Dzar atau Marwan? Syariati menyampaikan bahwa Islam yang benar lebih dari sekedar kepedulian. Islam yang benar memerintahkan kaum beriman untuk berjuang untuk keadilan, kemanusiaan dan penghapusan kemiskinan. Humanitas. Ahmad Dahlan adalah sosok pendiri Muhammadiyah yang pernah di cap ‘ulama Kristen’, mengimplementasikan pemahaman Qur’an dengan mendirikan sekolah, membangun panti asuhan dan menghadirkan sarana pengobatan. Keberpihakannya begitu nampak, yang justru berbeda dengan belenggu yang menghimpit Muhammadiyah saat ini. Ada yang percaya hal ini dikarenakan pada masa itu anggota Muhammadiyah adalah entrepreneur yang tak segan mensedekahkan hartanya untuk organisasi. Tak segan Ahmad Dahlan berhadapan langsung dengan tradisi feodal Kraton dan pemahaman Islam konservatif. Bila strategi Ahmad Dahlan cukup moderat, Che merupakan sosok revolusioner yang mendunia. Wajahnya banyak terpampang di berbagai kaos dan buku, yang kini justru menjadi komoditas industri. Mereka yang mengoleksinya tak lagi ingat bagaimana pilihannya untuk terlibat bersama massa tertindas, miskin dan terlupakan, harus di bayar dengan mahal. Ia menyadari bahwa empati saja tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan. Sistem itu harus di tumbangkan. Che bukan sosok yang berkata ‘pergi dan bertempurlah’, tetapi justru berkata ‘ikutilah aku dan berperang’. Menjadi kader pioneer dalam dinamika intelektualisme di Muhammadiyah merupakan nilai inti dari eksistensi IMM. Sesungguhnya kekuatan inti IMM sebagai kader Muhammadiyah terletak pada kesadaran dan kemampuan intelektual kader-kadernya yang secara kolektif memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Surat Al-Ma’un (Intelegensia Al Ma’un). Terjadinya tranformasi kader di berbagai bidang kehidupan.
(Rahmat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar